Celebes.news, OPINI – Wakil Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) Amin Lasena menegaskan bahwa sholat Idul Fitri tetap akan dilaksanakan dengan catatan dalam protap Corona Virus Disease (COVID-19). Dilansir dari Kumparan.com, Lasena berdasar pada fatwa MUI bagi daerah yang masih terkendali penyebaran virus. Lantas benarkah demikian? Apakah dengan hal tersebut kita benar-benar akan aman dari penyebaran COVID 19?
Fatwa yang dimaksud adalah Fatwa MUI nomor 28 tahun 2020 tentang Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri Saat Pandemi COVID 19. Yaitu, dibolehkan sholat idhul fitri di tanah lapang, masjid, mushola dan tempat lainnya apabila : Pertama berada di kawasan yang sudah terkendali pada saat 1 Syawal 1441 H, dengan ditandai kecenderungan penurunan penularan, dan kebijakan pelonggaran aktivitas sosial yang memungkinkan terjadinya kerumunan berdasarkan pertimbangan ahli yang kredibel. Kedua, berada di kawasan terkendali atau kawasan yang bebas COVID 19 dan diyakini tidak terdapat penularan (seperti di kawasan pedesaan atau perumahan terbatas yang homogen, tidak ada yang terkena COVID 19, dan tidak ada keluar masuk orang).
Fatwa ini sah-sah saja digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan di tengah pandemi ini. Namun, hal yang perlu kiranya lebih dipertimbangkan adalah kenyataan-kenyataan dengan kesesuaian fatwa, dan menghindari kerugian yang lebih besar.
Pengambilan kebijakan dengan dasar fatwa MUI tersebut tidak bisa dibulatkan menjadi hal yang telah sesuai dengan keadaan Bolmut. Misalnya, kecenderungan penurunan penularan dan meyakini sudah tidak ada penularan. Dalam hal ini, bagaimana mengukur kecendurungan penularan dan sudah tidak ada penularan tersebut? Hal yang paling jelas adalah melakukan rapid test masal bagi masyarakat luas, untuk mendeteksi sudah sejauh mana ancaman pasti COVID 19. Apalagi Bolmut menjadi pintu keluar-masuk Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo, tentu, aktivitas kontak yang tinggi tak bisa dihindari—contohnya saat arus mudik seminggu sebelum lebaran, perbatasan begitu membludak, tidak ada jaga jarak.
Sampai saat ini pemerintah daerah Kab. Bolmut belum melakukan rapid test masal untuk mengetahui titik berpijak terjadinya kecenderungan penurunan dan sudah tidak ada penularan. Rapid test masal berguna untuk membantu membaca penularan dan mempersempit pemetaan persebaraan virus secara lebih jelas. Pertanyaan konkrit yang harus diajukan adalah, bagaimana kita mengatakan bahwa si B lebih pendek dari A tanpa mengetahui ukuran keduanya?
Apalagi, orang positif COVID 19 tidak melulu ditandai dengan gejala-gejala yang jelas dapat terlihat, itulah kenapa ada kategori OTG (Orang Tanpa Gejala). Bahkan dilansir dalam Republika.co.id (10/5), Jubir gugus tugas penangana COVID 19 Achmad Yurianto menegaskan potensi penyebaran virus dari OTG bisa mencapai 75%.
Mengingat juga efek domino dari pelonggaran PSBB di tengah persiapan menghadapi keramaian idhul fitri. Mudah diamati bahwa orang-orang tak lagi memepertimbangkan faktor keselamatan dari virus ini dibandingkan dengan membeli baju lebaran. Ini juga merupakan potensi situasi bisa akan lebih buruk. Bukan hal yang kebetulan lonjakan aktivitas dan acuh tak acuh dengan PSBB di akhir ramadhan, dengan euforia (menyambut) merayakan idhul fitri, tertanggal 21 Mei, Indonesia mencetak angka tertinggi 973 kasus baru positif COVID 19.
Padahal jika diamati, fatwa MUI nomor 28 tahun 2020 yang dijadikan dasar oleh Pemda Bolmut, berpijak pada fatwa yang lebih luas sebelumnya, yaitu fatwa MUI nomor 14 tahun 2020. Dalam fatwa nomor 14 tahun 2020 disebutkan “Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).”
Meskipun dalam fatwa tersebut juga disebutkan kemungkinan bisa melaksanakan ibadah (sholat) yang melibatkan banyak orang jika penyebaran virus tersebut terkendali. Tapi, kembali lagi, pada poin tersebut tergantung kondisi daerah, kesigapan, dan kemampuan memetakan secara jelas persebaran virus melalui rapid test masal.
Selain pertimbangan fatwa tersebut, beredar di khlayak umum bahwa dibolehkan melakukan kegiatan yang melibatkan orang banyak (termasuk ibadah) saat berada di zona hijau. Perlu kiranya hal ini ditelaah secara lebih detil. Adanya zona hijau tidak menjamin bebas dari virus. Bukankah awalnya daerah di seluruh Indonesia adalah zona hijau, sebelum berubah status menjadi kuning dan merah?
Untuk itu ada Qaidah Fiqhiyyah درء المفا سد مقدم على جلب المصا لح “Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan dari pada mencari kemaslahatan” Dengan belum melaksanakan sholat idul fitri di masjid, tanah lapang atau musholah—dan pasti akan membludak—yang berada di seluruh Bolmut, saran yang paling aman adalah tetap melaksanakan sholat idhul fitri di rumah masing-masing, yang juga tidak menyalahi syariat, maka kita akan menghindari timbulnya hal yang lebih buruk, dengan pertimbangan apa yang diuraikan di atas.
Sebagai muslim juga, ini merupakan ikhtiar dalam mengurangi dampak buruk yang akan ditimbulkan akibat keramaian menyambut dan melaksanakan idhul fitri. Jika memang kita tidak bisa mengurangi, maka usaha untuk tidak menambah adalah jalan terbaik.
Ersad Mamonto
Himpunan Pemuda Al Khairaat (HPA) Kab. Bolmut