Celebes.news, OPINI – “Aku lahir di bumi Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935 “Makah Darat” adalah bumi bersejarah”
(Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalananku, 2019)
Di negeri ini, tidak banyak orang yang dipanggil sebagai “Guru Bangsa”. Selain Buya Syafii Maarif, ada juga Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Abdurahman Wahid (Gus Dur). Memang tidak ada proses formal untuk mendapatkan sebutan sebagai “Guru Bangsa”. Setiap orang bisa memakai istilah itu untuk menghormati orang-orang yang mereka anggap layak dan orang-orang yang mereka sukai. Tetapi, orang juga bisa dengan mudah melepaskan istilah itu ketika dianggap tidak pas atau tidak disukainya, namun demikian, penyematan istilah “Guru Bangsa” kepada ketiga tokoh Buya Syafii, Cak Nur, dan Gus Dur bukan hanya diberikan oleh orang-orang terdekatnya saja. Media massa, tokoh-tokoh nasional, dan masyarakat biasa pada umumnya memanggil ketiganya dengan sebutan “Guru Bangsa”. Meski pada dasarnya panggilan itu bisa dipakai secara arbitrary (secara asal, tidak memakai system tertentu), namun panggilan tersebut baru bisa diterima secara umum jika memang ada social recognition (pengakuan sosial) terhadap orang yang dipanggil dengan sebutan itu.
Semacam Cinta Platonis
Saya pribadi mengenal Buya Syafii Maarif hanya lewat buku dan diskusi bersama sahabat-sahabat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di kampus, mereka sering mengutip pikiran-pikiran Buya manakala kami bicara. Ketertarikan saya untuk mengenal lebih dalam siapa Buya Syafii Maarif barulah di tahun 2018 yang lalu, ketika saya mendapatkan tawaran dari teman seangkatan semasa mengajar di SMA Negeri 1 Manado untuk coba-coba mendaftarkan diri dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Maarif Institute (LSM yang didirikan oleh Ahmad Syafii Maarif tahun 2002). Kegiatan yang bertajuk Indonesia Millenial Movement (IMM).
Singkat cerita, dengan melewati proses seleksi yang rumit dan banyak pesaing dari seluruh Indonesia, saya terpilih menjadi satu diantara seratus anak beruntung yang mendapatkan kesempatan untuk berangkat secara gratis pergi-pulang Jakarta mewakili Sulawesi Utara (Sulut) meski tidak hanya itu sebenarnya hal yang menarik tetapi, bagi saya pribadi bisa terpilih dan berangkat ke Jakarta adalah kesempatan untuk dapat bertemu, bertatap wajah, dan bisa berdiskusi secara ekslusif dengan nama yang hanya saya temui dalam buku, dan dalam kutipan sahabat-sahabat IMM Manado, Buya Syafii Maarif.
Sayangnya, harapan saya harus kandas ditempat kegiatan saat itu, manakala kami mendapatkan informasi bahwa Buya tidak bisa hadir oleh karena kondisi fisik beliau kurang memungkinkan (sakit). Kegiatan selama lima hari yang membahas beragam isu perihal posisi anak muda dalam membincangkan dan merumuskan bersama terkait usaha-usaha perdamaian dalam rangka pencegahan ekstrimisme kekerasan itu, mau tidak mau bagi saya masih “kurang” tanpa kehadiran Buya Syafii Maarif. bukan kegiatanya, tapi nuansanya.
Setelah lima hari menghabiskan waktu di ibu kota dan banyak bertemu dengan tokoh nasional saya kembali ke manado dengan perasaan masih mengganjal. Belum genap setahun pasca kegiataan yang memberikan peluang saya untuk dapat bertemu dan berdiskusi dengan Buya, tepat bulan Juli 2019 saya dikagetkan dengan undangan untuk dapat menghadiri seri dialog yang bertemakan “menyatukan perbedaan, membangun negeri” yang diselenggarakan oleh Suara Muhammadiyah dan Kominfo (kementrian komunikasi dan informatika), yang membuat saya bergairah untuk bangun pagi dan segera beranjak ke tempat dialog bukan perihal tempat diskusinya hotel mewah atau uang duduknya, melainkan salah satu pemantik dialog adalah Buya Syafii Maarif. Sosok guru bangsa yang tidak dapat saya temui di ibu kota, kini mampir ke kota nyiur melambai. Segeralah saya bangun, menyiapkan diri dan berangkat dengan penuh semangat.
Setelah beberapa menit menunggu acara dimulai, tibalah moderator membuka dialog. Sayang, untuk kali kedua kesempatan saya kembali kandas. Buya tidak bisa menghadiri dialog juga karena kondisi kesehatan yang menurun, kami hanya melihat penyampaian maaf dan sedikit seruan Buya perihal berbahayanya hoax apa bila tidak kita hentikan. lewat video recorder Buya menyampaikan.
Kini, setelah dua kesempatan emas itu kandas dan Buya sudah memasuki usia yang ke 85 tahun ada ke engganan untuk tidak ingin kehilangan sosok tokoh, negarawan, agamawan, dan tentunya Guru Bangsa yang masih tersisa. Pertemuan saya dengan Buya seperti yang telah ditulis di atas hanyalah lewat buku dan pikiran-pikiran Buya. Apalagi perihal pendidikan, itu adalah salah satu bab yang saya senangi sebab berkaitan langsung dengan apa yang saya lakoni di kampus.
Buya Dan kritik Terhadap Pendidikan Nasional.
Pada masa di mana Buya dilahirkan, krisis buta aksara masih sangat menjadi hal yang massif dan menjadi pekerjaan rumah para proklamator saat itu. Memang harus kita akui, sebagai bangsa yang dijajah ratusan tahun, pendidikan menjadi hal yang sangat sulit dirasakan oleh banyak rakyat Indonesia. Hanya segelintir orang saja pada waktu itu yang bisa mendapatkan kesempatan sekolah, jika bukan darah biru, ya! paling para tuan tanah yang bersekutu dengan kolonial. Sukur-sukur, makin kesini buta aksara ditingkat dasar telah dihalau sampai kedasar yang jauh berkat peluang yang diberikan oleh kemerdekaan bangsa. Meski begitu menurut Buya, kualitas pendidikan Indonesia yang mayoritas muslim masih jauh dari yang semestinya.
Strategi pendidikan kita yang tidak pernah mantap dan tidak memiliki prioritas sejak proklamasi menjadi sebab utama mengapa kualitas manusia Indonesia masih saja berada dibawah standar, baik diukur pada tingkat regional apalagi di tingkat global. Dengan demikian daya saing bangsa dibidang tekhnologi, ilmu, dan ekonomi sangatlah rendah. (Ahmad Syafii Maarif, islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, 2009)
Pendidikan masih menjadi hal yang patut untuk terus diperbaiki, apalagi sekarang kita hidup di era pandemik yang mengharuskan segala aktifitas berubah atau dialihkan semuanya ke daring (dalam jaringan). Tentu ini juga tantangan yang serius apalagi pendidikan kita tidak mempersiapkan pola pendidikan untuk menghadapi situasi krisis layaknya hari ini. Mahasiswa dan pelajar menengah atas mungkin masih bisa belajar via daring, itupun banyak terkendala dengan jaringan, belum lagi pola belajarnya yang masih sama tidak ada bedanya belajar sebelum pandemic dan hari ini kita hidup ditengah pandemik covid-19. Tugas yang menggunung, absensi yang harus tepat waktu, dan dosen atau guru yag tidak siap mengganti pola pembelajaran. Lalu bagaimana dengan mereka yang masih sekolah dasar (SD)? Sejauh ini mereka terlunta-lunta tidak bisa belajar dan tentunya tidak memiliki petunjuk untuk belajar dengan pola seperti apa.
Tetapi ditengah kegelapan, masih saja ada kelip-kelip bintang yang menerangi angkasa. Maksud saya, dengan kondisi pendidikan yang serba tertinggal, ada saja anak bangsa yang maju. Bukan karena jasa sistem pendidikan yang dilaluinya, melainkan ada dorongan yang kuat dalam dirinya sendiri untuk tidak mau menyerah kepada keadaan. Mereka belajar sendiri dengan penuh disiplin. Apalagi sekarang dengan adanya internet, seorang anak didik yang mempunyai kuriositas yang tinggi, pasti akan memanfaatkan teknologi maya itu untuk mencerdaskan dirinya. Untuk daerah pedesaan, sosialisasi internetisasi ini baru dimulai dan masih sangat terbatas desa yang bisa mengaksesnya. Untuk ke depan, para guru dan murid sudah tidak punya pilihan lain,kecuali menceburkan diri secara aktiv mengakses sumber-sumber informasi dari dunia maya ini. Sumber itu sungguh tak terbatas, dan biayanya pun relatif terjangkau. Dengan cara ini, ketertinggalan kita dalam pendidikan akan dapat diatasi secara berangsur, tetapi pasti. (Ahmad Syafii Maarif, islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, 2009)
Buya “Guru Bangsa” Yang Merdeka.
Buya dalam kacamata saya adalah manusia yang langka di negeri ini, setelah kepergian Cak Nur dan Gus Dur. Tidak hanya pikirannya saja yang merdeka mampu menembus lintas masa, namun juga laku yang terus dipelihara tetap hidup sederhana dan mandiri. Konon, beliau nyaris tidak pernah memberikan kesempatan orang lain membawakan tasnya, “memang anda pikir saya tidak mampu bawa sendiri?” Sergahnya saat ada yang coba membantu membawakan tasnya. Begitupun dalam hal mengurus tiket pesawat, semuanya diurusnya sendiri.
Begitupun dalam hal meladeni pasungan yang silih berganti menawarkan posisi elite di negeri ini, Buya selalu saja menolaknya. Ketika diminta menjadi ketua dewan pertimbangan Presiden oleh Presiden Jokowi, beliau menolaknya dengan halus, tetapi dengan argumentasi yang ajeg dan eksistensial. Itu tak lain agar beliau bisa menjaga independensi dan kemerdekaanya dalam bersuara. Buya tidak akan mengobral kemerdekaan sejati yang dimilikinya dengan berbagai jabatan apapun.
Jelas ini adalah pelajaran penting bagi saya pribadi, Buya merupakan sosok yang sangat merdeka dalam pikir, tutur, dan laku. Ia berangkat dari penyelaman terhadap pengalaman pahit bangsa Indonesia, yang hidup dalam keterjajahan beratus tahun lamanya, dan perenungan betapa merdeka adalah kata yang harus dibayar dengan darah, harta, nyawa, dan air mata. Oleh karenanya ia betul-betul memaknai dan memberikan ruh atas nikmat kemerdekaan yang didapat bangsa ini melalui sikap kritis dan independen, sehingga ia secara teguh menghalau berbagai anasir “penjajahan” dan mental “keterjajahan” dari dalam dirinya sendiri, dan mewujudkanya sebagai seorang pribadi yang benar-benar merdeka.
Di usia yang ke 85 tahun, tentu segala lantunan doa akan senantiasa mengalir atas kesehatan dan harapan agar Indonesia kedepan mau dan mampu berguru kepada muadzin bangsa dari makah darat. Selamat bertambah usia, “Guru Bangsa”. Dari anak muda yang jauh dipelosok desa Vahuta, Kecamatan Bintauna, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
Salam hormat!
Farid Mamonto (Kader PMII Metro Manado dan alumni IMMOVE2018)