Celebes.news, OPINI – Secera serentak tanggal 4 Juni ini diselenggarakn haul ke-52 Sayyid Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (Guru Tua) oleh abna al-Khairaat di seluruh pelosok Nusantara. Haul kali ini memang beda, biasanya sebelum tanggal ditetapkan para abna dari seluruh Nusantara akan sibuk mempersiapkan diri menuju ke tempat haul (Palu) dan akan mengahsilkan kepadatan umat. Tapi, karena pandemi, hal itu enggan dilakukan, akhirnya tempat terbaik kita untuk mengenang Guru Tua adalah di daerah masing-masing.
Termasuk yang saya hadiri, di masjid Fastabiqulkhairaat, tepat berada di depan Pondok Pesantren al-Khairaat Bintauna. Berkumpul—meski dengan protap Covid-19—mengenang Guru Tua, membuat ingatan saya kembali bersua saat mengais ilmu di rumah itu (al-Khairaat).
Al-Khairaat semacam bisa membuat saya terhenyak, saat mulai belajar pertama membaca Qur’an dan belajar do’a-do’a sehari-hari, di TK al-Qur’an milik al-Khairaat. Meski melewatkan rumah itu saat SD, saya kembali saat di tingkat menengah pertama (MTs) dan betah sampai Madrasah Aliyah (MA), hingga tamat.
Kehidupan saya di al-Khairaat benar-benar tidak seideal seperti santri pada umumnya, yang memiliki etos dan semangat menuntut ilmu. Saya sempat berada di posisi terbaik saat MTs dan mengalami titik terendah saat MA.
Di antara memori terbaik itu adalah, benda yang menjadi ciri khas identitas kealkhairatan kita : Songkok Hitam dan Jilbab Gepe. Saya tak tahu persis, apa nama yang baku untuk jilbab gepe. Cuma, kami para santri di PP al-Khairaat Bintauna biasa menyebutnya sperti itu, benda penutup kepala bagi santriwati yang tidak ada di pesantren selain al-Khairaat. Waktu itu peci dan jilbab gepe kadang, selalu diejek oleh teman yang tidak mengenyam rasa manis di al-Khairaat : tidak gaul lah, kuno, ribet atau bahkan dibilang membuat penampilan jelek.
Dengan cemoohan seperti tiu, kadang para santri di tempat saya, mengalami ketidak percayaan diri dengan identitasnya. Padahal hal itu teramat berharga dari sekedar gaya hidup. Saya baru menyadarinya saat menjadi alumni. Songkok hitam sangat santri, menandakan bahwa kita berada dalam komunitas pesantren. Begitupun dengan jilbab gepe waktu itu. Hal ini sebenarnya harus disadari sebagai kebanggan menjadi warga pesantren, konon inilah model pendidikan paling khas di Nusantara dan tertua. Catatan Federspiel dalam Wikipedia bahkan menyebutkan menjelang abad ke-12 sudah ada pesantren. Ditambah lagi rumah al-Khairaat kita menorehkan tinta emas dalam sejarah : Guru Tua sebagai yang melahirkan al-Khairaat, merupakan pahlawan nasional dengan nasionalisme yang kuat, yang menyarankan kepada K.H Hasyim Asy’ari pada muktamar NU 1937 bahwa merah putih adalah bendera Indonesia, dan Soekarno adalah presidennya. Hal ini, konon berasal dari mimpi Guru Tua bertemu dengan Rasulullah dan memesankan hal tersebut. Bukti kuat lainnya adalah saat Guru Tua menulis syair yang indah tentang kecintaannya pada Indonesia. Di antara penggalan syair tersebut adalah “Tiap Bangsa memiliki simbol kemuliaan dan simbol kemuliaan kami adalah merah dan putih”.
Jadi tidak ada alasan yang kuat untuk meminggirkan ke-alkhairatan kita, dan membuat kita jauh dari rumah ini saat menjadi santri dalam pondok atau keluar setelahnya.
Ersad Mamonto
(Himpunan Pemuda Alkhairaat Bolmut)