Celebes.news, Sangihe – Tiga buku karya penulis asal Bolaang Mongondow Raya (BMR) dibedah dalam event Sangihe Writer and Reader (SWRF), bertempat di Balai Pertemuan Umum Kabupaten Sangihe, pada Jumat, 22/10/2021.
Diketahui, buku karya tiga penulis tersebut berjudul Toedoen In Passi : Sejarah Desa Hingga Kiprah Loloda Mokoagow oleh Uwin Mokodongan, Uterus oleh Hardiyanti Suratman, Aku Tidak Tahu Bahwa Aku Tidak Tahu Apa-apa oleh Tyo Mokoagow.
Dalam kesempatan tersebut, Uwin Mokodongan menyampaikan, buku Toedoe In Passi: Sejarah Desa Hingga Kiprah Loloda Mokoagow, awalnya adalah profil Desa Passi yang ditulis kepala desa setempat 1986 silam.
“Kepala desa pada tahun1986 itu adalah ayah Saya. Berdasarkan tuntutan Undang-undang Pemda tahun 1974, setiap desa itu harus memiliki profil desa yaitu terkait asal usul atau sejarah desa itu sendiri,” ucapnya.
Uwin mengisahkan, saat berusia 7 tahun, dirinya sering dibawa oleh sang ayah saat bertugas menulis sejarah desa. Sehingga dirinya mengenal sejumlah tokoh dan narasumber yang ditemui oleh sang ayah kala itu.
“Saat duduk di SMP, pada pelajaran Bahasa Indonesia untuk tugas mengarang, saya menulis tentang asal usul desa berdasarkan pengalaman saat bersama sang ayah. Guru saya waktu itu menyampaikan bahwa tugas milik saya ini adalah tentang sejarah desa,” tuturnya.
Menurut Uwin, berdasarkan pengetahuan profil dan sejarah tersebut, saat masuk kuliah, dirinya mulai masuk lebih dalam tentang sejarah Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Sulawesi Utara sebagai seorang penulis.
“Kita harus menulis tentang sejarah. Karena di daerah kita sangat sedikit yang menulis tentang sejarah Bolmong khususnya tentang tokoh Loloda Mokoagow. Sebagai penulis tentang Loloda Mokoagow, data yang digunakan adalah berdasarkan dokumen kolonial, kisah-kisah lokal yang ditradisikan, hikayat atau sejarah lisan di Bolmong. Dalam buku ini juga, penulis memuat tentang masuknya Sarekat Islam di Bolmong. Selain itu, turut menyentil hubungan antara Bolmong dan Sangihe,” kata Uwin Mokodongan.
Hardiyanti Suratman, penulis buku yang berjudul ‘Uterus’ ini menyampaikan, karya miliknya ini diambil dari kata uterus yang artinya rahim. Dari buku ini memiliki makna tentang ‘rahim’. Menurut penulis, di ‘rahim’ inilah lahir bidan dan penulis.
“Buku ini ditulis sejak masih kuliah di Akademi Kebidanan. Penulis dalam buku ini mengisahkan bahwa tidak semua penulis itu hanya berasal dari mereka yang kuliah di fakultas sastra saja,” tuturnya.
Menurut Hardiyanti, buku ini memiliki makna tentang penulis yang mengikuti keinginan sang ayah agar anaknyamenjadi seorang bidan. Disisi lain, dirinya memiliki keinginan besar untuk menjadi seorang penulis profesioanal.
“Pada intinya buku Uterus ini mengisahkan tentang lahirnya seorang bidan dan seorang penulis. Tentunya memerlukan beberapa tahun dulu agar buku ini bisa terbit. Dan pada tahun 2018 buku berjudul ‘Uterus’ ini akhirnya terbit,” kata Hardiyanti Suratman.
Sementara itu, penulis buku yang berjudul ‘Aku Tidak Tahu Bahwa Aku Tidak Tahu Apa-apa’, Tyo Mokoagow, mengatakan, sebelum menjadi penulis, pada 2018, dirinya pernah bernazar untuk menulis sehari 200 kata dan dalam setahun mampu menghasilkan 365 tulisan.
“Dalam kehidupan ini ada empat tipe orang dan pengetahuannya yaitu, aku tahu bahwa aku tahu, aku tahu bahwa aku tidak tahu, aku tidak tahu bahwa aku tahu, dan aku tidak tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa,” ucapnya.
Menurut Tyo, buku ‘Aku Tidak Tahu Bahwa Aku Tidak Tahu Apa-apa’ ini tentang dirinya yang merekam perjalanan intelektual, mencari, memacu dan diskusi serta tenggelam dalam diri sendiri.
“Buku ini berpesan bagi diri sendiri dan kita semua agar menahan diri dari merasa paling tahu. Menulis itu 10 persen menulis, dan 90 persen itu edit lagi. Karena proses edit itu adalah hal yang paling penting dalam proses kreatif. Dan yang paling utama adalah kegigihan,” kata Tyo Mokoagow. (MaL)