Oleh : Fadly Tadjudin Usup
Celebes.news, Opini – Hukum positif Indonesia hanya mengatur PHPU Pilpres, Pilkada dan Pileg, sementara Undang – undang nomor 6 tahun 2014 dan segala turunannya belum mengatur secara rinci mekanisme Yuridis penyelesaian sengketa Pemilihan Sangadi (Pilsang). Pasalnya, dalam regulasi yang ada sekarang ini, mekanisme penyelesaian di serahkan kepada Bupati melalui Panitia Pemilihan Sangadi di Kabupaten dan OPD Teknis.
Undang – undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 37 ayat 6 Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Sangadi, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan Perselisihan.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Pasal 41 ayat 7 Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Sangadi, bupati/walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari.
Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 1 Tahun 2021, Pasal 60 Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Sangadi, Bupati wajib menyelesaikan perselisihan.
Dengan demikian menurut pemahaman saya, maka Bupati diberikan kewenangan oleh Undang – undang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan sangadi. Dan perselisihan di maksud dalam regulasi di atas diluar perselisihan yang terkait dengan Pidana.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 Pasal 5 ayat (1) Bupati/Walikota membentuk panitia pemilihan di Kabupaten/Kota.
Bupati Bolaang Mongondow Utara membentuk panitia pemilihan sangadi dengan Surat Keputusan Nomor 191 Tahun 2021.
Sesuai SK Nomor 191 Tahun 2021 ketua panitia pemilihan kabupaten yang di bentuk oleh Bupati adalah Kepala Dinas PMD Kab Bolmut, dan terdiri dari beberapa OPD yang terkait dan di sesuaikan dengan Pepres 33 Tahun 2020. Maka, segala bentuk administrasi dan pelaksanaan kegiatan ada di Dinas PMD.
Olehnya jika terjadi laporan terkait perselisihan maka diselesaikan oleh Bupati dalam hal ini sebagai perpenjangan tangan adalah panitia di tingkat kabupaten. Sehubungan dengan tindak lanjut laporan, maka panitia mengundang para pihak terlapor dan yang melapor untuk melakukan musyawarah mencapai mufakat dalam hal para pihak tidak bersepakat. maka ada lembaga negara lainya yang di tunjuk untuk menyelesaikannya. Atas kondisi tersebut, masyarakat dan para pihak yang merasa di rugikan bisa menempuh jalur tersebut.
Dapat saya jelaskan sedikit hal-hal terkait sengketa pilsang sebagai berikut :
Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, menyangkut keputusan tertulis yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, finalisasi dari pelaksanaan Pilsang adalah Keputusan Tata Usaha Negara berupa keputusan Bupati yang ditujukan kepada Sangadi terpilih, kompetensi absolut peradialan Tata Usaha Negara adalah keputusan yang konkrit sebagai parameter dari sebuah obyek sengketa, oleh karena itu, Peradialan Tata Usaha Negara berwenang untuk mengadili sengketa Pilsang, akan tetapi yang seharusnya menjadi obyek gugatan adalah keputusan Bupati tentang pengesahan Sangadi terpilih bukan keputusan panitia pilsang desa dan laporan BPD tentang berita acara penetapan calon Sangadi terpilih. Disamping itu keberadaan organ/kelembagaan Panitia Pilsang Desa dan BPD bukan dikategorikan sebagai badan/pejabat Tata Usaha Negara karena melaksanakan fungsi-fungsi legislatif.
Keputusan Bupati tentang pengesahan Sangadi terpilih sebagai obyek sengketa Pilsang. Pasalnya, keputusan Bupati telah menimbulkan akibat hukum tehadap Sangadi terpilih berupa hak dan kewajiban, sehingga dengan demikian telah menimbulkan hukum yang baru (konstitutif) bagi Sangadi terpilih, sedangkan keputusan Panitia Pemilihan Sangadi Desa dan BPD bukan sebagai obyek sengketa karena tidak menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi Sangadi terpilih. Karena hak dan kewajiban yang tertuang dalam keputusan Bupati tidak termasuk pada pengaturan yang bersifat umum, akan tetapi menunjuk pada seorang Sangadi terpilih.
Pihak tergugat dalam sengketa Pilsang adalah Bupati bukan Panitia Pemilihan Sangadi Desa, dan BPD, karena keputusan Bupati sudah final dan menimbulkan akibat hukum, untuk usulan BPD, sifatnya mengusulkan Sangadi terpilih kepada Bupati untuk disahkan sebagai Sangadi definitif, sehingga dengan demikian karakteristik dari keputusan Bupati sifatnya membuat hukum baru (constitutif) bagi Sangadi terpilih.
Terkait hal –hal di atas di atur dalam Undang – undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang – undang nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam hal laporan yang bersifat sengketa dan mengandung unsur tindak pidana, penyelesaianya dapat di teruskan ke Aparat Penegak Hukum yang berwenang.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, saya menyimpulkan, bahwa pada dasarnya kewajiban penyelesaian mengenai hasil pemilihan sangadi itu adalah wewenang Bupati. Dan apabila penyelesaian perselisihan dalam jangka waktu yang diberikan oleh Undang – undang masih terdapat pengajuan keberatan atas pelaksanaan Pilsang maka pengesahan dan pelantikan Sangadi terpilih tetap dilaksanakan.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengusulkan kepada kementerian yang berwenang kirannya dapat membuat regulasi yang mengatur lembaga yang menyelesaikan sengketa Pilsang di daerah layaknya lembaga-lembaga yang di atur bersifat Ajudikasi dan independen dalam hal menyelesaikan sengketa perselisihan Pilkada di daerah.
Diakhir tulisan ini, Saya mohon maaf dan tak ada niatan untuk menggurui, namun ingin menjelaskan agar masyarakat mendapatkan edukasi dan informasi sesuai dengan aturan Perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia khususnya yang mengatur tentang Pilsang.
Semoga bermanfaat, dan mohon maaf jika ada kekeliruan dan kesalahan menafsirkan regulasi.